Minggu, 09 Juli 2017

Makalah Morfologi



MORFOLOGI
(ILMU TENTANG KATA)


Disusun oleh :
Desi Widy Astutik
Diana Putri Arifiani
Fatimatuz Zahroh
Iiklimah
Masdatul Jannnah


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PGRI BANGKALAN
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
MAKALAH LINGUISTIK UMUM MORFOLOGI

A.    Morfem
1.      Identifikasi Morfem
                  Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk – bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang – ulang dengan kata lain, makna bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Sebagai contoh kita ambil bentuk [kedua], dalam ujaran tersebut. Ternyata bentuk [kedua] dapat kita banding – bandingkan dengan bentuk – bentuk sebagai berikut
(1)     kedua
ketiga
kelima
ketujuh
kedelapan
kesembilan
kesebelas
            Ternyata juga semua ke pada daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menyatakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke pada daftar dia atas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang – ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Perhatikan bentuk ke pada daftar berikut (Di sini aturan ejaan tidak diindahkan).
(2)     kepasar
kekampus
kedapur
kemesjid
kealun-alun
keterminal
Ternyata juga bentuk ke pada daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian ke pada daftar tersebut juga adalah sebuah morfem.
Namun apakah ke pada deretan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya dengan ke pada deretan kepasar, kekampus, dan seterusnya itu merupakan morfem yang sama, atau tidak sama. Karena makna bentuk ke pada kedua dan kepasar tidak sama, maka kedua ke itu bukanlah morfem yang sama. Keduanya merupakan dua buah morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama. Jadi, kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah morfem.
Sekarang perhatikan bentuk meninggalkan yang juga terdapat pada arus ujaran di atas; lalu, bandingkan dengan bentuk – bentuk lain yang ada dalam daftar berikut.
(3)     meninggalkan
ditinggal
tertinggal
peninggalan
ketinggalan
sepeninggal
            Dari daftar tersebut ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari bagian unsure – unsure lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n- akan dibicarakan pada bagian lain). Maka, di sini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya juga sama.
            Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh berikut.
(4)     menelantarkan
terlantar
lantaran
            Dari contoh di atas meskipun bentuk lantar terdapat berulang – ulang pada daftar tersebut, tetapi bentuk lantar itu bukanlah sebuah morfem karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata pula kalau bentuk menelantarkan memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan lantaran.
            Dalam morfologi suatu satuan bentuk yang berstatus sebagai morfem biasanya dilambangkan dengan mengapitnya di antara kurung kurawal. Misalnya, kata Indonesia mesjid dilambangkan sebagai {mesjid}; kata kedua dilambangkan menjadi {ke} + {dua}, atau bia juga ({ke} + {dua}). Selama morfem itu berupa morfem segmental hal itu mudah dilakukan.
2.      Morfem dan Alomorf
                  Telah disebutkan bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang – ulang dalam satuan bentuk yang lain. Perhatikan deretan bentuk berikut.
(5)   melihat
merasa
membawa
membantu
mendengar
menduda
menyanyi
menyikat
menggali
menggoda
mengelas
mengetik
Lihat ada bentuk – bentuk yang mirip atau hampir sama, tetapi kita juga tahu bahwa maknanya juga sama. Bentuk – bentuk itu adalah me- pada melihat dan merasa, mem- pada membawa dan memantu, men- pada mendengar dan menduda, meny- pada menyanyi dan menyikat, meng pada menggali dan menggoda, dan menge pada mengelas dan mengetik. Lalu, apakah me-, mem-, men-, meny-, meng-, dan menge- itu sebuah morfem atau bukan, sebab meskipun maknanya sama tetapi bentuknya tidak persis sama, tetapi perbedaannya dapat dijelaskan secara fonologis. Bentuk me- berdistribusi, antara lain, pada bentuk dasar yang fonem awalnya konkosonan /l/ dan /r/; bentuk mem- berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya /b/ dan juga /p/; bentuk men- berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya /d/ dan juga /t/; bentuk meny- berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya /s/; bentuk meng- berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya, antara lain konsonan /g/ dan /k/; bentuk menge- berdistribusi pada bentuk dasar ekasuku.
            Bentuk – bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan perkataan lain, alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam pertuturan) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, dua atau juga enam buah seperti yang tampak pada data di atas. Selain itu bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya; sedangkan alomorf adalah nama bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.
            Sebuhungan dengan alomorf me-, mem-, men-, meny-, meng-, menge-, di atas muncul masalah: apa nama morfem untuk alomorf – alomorf itu? Dalam tata bahasa tradisional nama yang digunakan adalah awalan me-, dengan penjelasan, awalan me- ini akan mendapat sengau sesuai dengan lingkungannya. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indoneia dipilih alomorf meng- sebagai nama morfem itu, dengan alasan alomorf meng- paling banyak distribusinya. Namun, dalam studi linguistic lebih umum disebut morfem meN- (dibaca; me- nasal; N besar melambangkan Nasal)
3.      Kalsifikasi Morfem
Klasifikasi morfem dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagiannya.
Morfem Bebas dan Morfem Terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya : pulang, makan, rumah dan bagus adalah termasuk morfem bebas
Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam peraturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat. Begitu juga dengan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.
Berdasarkan dengan morfem terikat ini dalam bahasa indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, yaitu:
  1. Bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem terikat, karena bentuk- bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial (lihat Verhaar 1978).
  2.  Sehubungan istilah prakategorial tersebut, menurut konsep Verhaar (1978) bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan sesudah mengalami proses morfologi.
  3. Bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena hanya bisa muncul dalam pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut juga morfem unik.
  4. Bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dari, pada, dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
  5. Klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya, apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk-bentuk singkat, biasanya hanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan enklitika. Yang dimaksud dengan proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kuambil.
Sedangkan enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti lah, -nya, dan -ku pada konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku.
Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Semua morfem dasar bebas yang di jelaskan diatas adalah termasuk morfem utuh seperti : meja, kursi, kecil, laut, dan pensil. Begitu juga dengan morfem terikat seperti ter, ber, henti, dan juang .
Morfem terbagi adalah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Seperti pada kata Indonesia kesatuan terdapat satumorfem utuh yaitu (satu) dan satu morfem terbagi yakni { ke-/-an}; kata perbuatan terdiri dari satu kata utuh, yaitu {buat} dan satu morfem terbagi, yaitu {per-/-an}.
Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indone­sia, ada catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.       Semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, { ber-/-an } (per-/-an}, dan { pe-/-an } adalah termasuk morfem terbagi. hlamun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks, dan bermusuhan saling memusuhi; tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan dan berpakaian.
b.      Dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yakni afiks yang disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er} pada kata gerigi, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pa a kata gemetar.
Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segental seperti; mofem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi semua morfem yang berwujud bunyi adalah moerfem segmental.
Morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental seperti; tekanan, nada, durasi dan sebagainya.


Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Perbedaan lain yang biasa dilakukan orang adalah dikatomi adanya morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem morfem yanf secara interen telah memiliki makna pada dirinya sendiri. Tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya , dalam bahasa Indonesia, morfem morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan (merah) adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam penuturan.
Sebaliknya , morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa apa pada dirinya sendiri. Morfem ini  baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal ini adalah morfem morfem afiks, seperti {ber}, {me}, dan {ter}.
Dalam dikotomi morfem bermakna leksikal dan tak bermakna leksikalini, untuk bahasa Indonesia timbul masalah. Morfem morfem seperti {juang}, {henti}, dan {gaul}, yang oleh verhaar disebut bentuk prakate gorial, mempunyai makna atau tidak? Kalau dikatakan mempunyai makna, jelas morfem morfem tersebut tidak dapat berdiri sendiri sebagai bentuk yang otonom didalam pertuturan. Kalau dikatakan tidak bermakna , jelas morfem morfem itu bukan afiks. Dalam hal ini barangkali perlu dipisahkan antara konsep Dan tataran semantic dengan konsep dan tataran gramatikal. Secara semantik, morfem morfem itu mempunyai makna; tetapi secara gramatikal morfem morfem tersebut tidak mempunyai kebebasan dan otonomi seperti morfem {kuning}, {lari}, {sikat}.
Ada satu bentuk morfem lagi yang perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai makna leksikal atau tidak, yaitu morfem morfem yang didalam gramatika berkategori sebagai preposisi dan konjungsi. Morfem morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi jelas bukan afiks dan jelas memiliki makna. Namun, kebebasannya dalam pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat kebebasan morfem afiks. Kedua jenis morfem ini pun tidak pernah terlibat dalam proses morfologi, padahal afiks jelas terlibat dalam proses morfologi, meskipun hanya sebagai pembentuk kata.
4.      Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal, dan Akar
Morfem dasar, bentuk dasar (lebih umum dasar (base) saja), pangkal (stem), dan akar (root) adalah empat istilah yang biasa digunakan dalam kajian morfologi. Namun , seringkali digunakan dengan pengertian yang kurang cermat, atau malah berbeda. Oleh karena itu, sejalan dengan usaha yang dilakukan Lycns (1977:513) dan Matthews (1972:165 dan 1974:40,73) ada baiknya kita bicarakan dulu sebelum pembahasan mengenai proses proses morfologi.
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi bentuk bentuk seperti {juang}, {kucing}, dan {sikat} adalah morfem dasar. Morfem dasar ini  ada yang termasuk morfem terikat, seperti {juang}, {henti}, dan {abai} ; tetapi ada juga yang termasuk morfem bebas, seperti {beli}, {lari}, dan {kucing}, sedangkan morfem afiks, seperti {ber-}, {ter-}, dan {-kan} jelas semuanya termasuk morfem terikat.
Sebuah morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses morfologi. Artinya bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses komposisi.
Istilah bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem. Umpamanya pada kata berbicara yang terdiri dari morfem ber- dan bicara, maka bicara adalah menjadi bentuk dasar dari kata berbicara itu, yang kebetulan juga berupa morfem dasar. Pada kata dimengerti  bentuk dasarnya adalah mengerti; dan pada kata keanekaragaman bentuk dasarnya adalah aneka ragam. Dalam bahasa inggris kata books bentuk dasarnya adalah book; dan kata singers bentuk dasarnya adalah singer; sedangkan kata singer itu sendiri bentuk dasarnya adalah sing.
Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau proses pembubuhan  afiks inflektif (Tentang inflektif dan derivasi). Contoh bentuk inflektif kita ambil dari bahasa inggris. Pada kata books  diatas, pangkalnya adalah book. Contoh lain pada kata untouchables pangkalnya adalah untouchable. Dalam bahasa Indonesia kata menangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi; dan morfem me- adalah sebuah afiks inflektif.
Akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya , baik afiks infleksional maupun afiks derivasionalnya ditanggalkan. Misalnya, kata inggris untouchables akarnya adalah touch. Proses pembentukan kata untouchables itu adalah; mula mula pada akar touch dilekatkan sufiks able menjadi touchable; lalu, diletakkan prefix un- menjadi untouchable; dan akhirnya, diimbuhkan sufiks –s sehingga  menjadi untouchables.

B.     Kata
1.      Hakikat Kata
   Istilah kata sering kita dengar dan sering kita gunakan. Malah barang kali kata kata ini hampir setiap hari dan setiap saat selalu kita gunakan dalam segala kesempatan dan untuk segala keperluan. Tetapi kalau di tanya apakah kata itu? Maka jawabanya barang kali tidak semudah menggunakannya. Para linguis yang sehari-hari bergelut dengan kata ini, hingga dewasa ini, kiranya tidak pernah mempunyai kesamaan pendapat mengenai konsep apa yang disebut kata itu
Para tatat bahasawan tradisional biasanya memberi pegertian terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian atau kata adalah deretan huruf yang di apit oleh dua spasi,dan mempunyai satu arti. Dalam kajian biasanya terdiri dari tiga huruf  “ kata-kata dalam bahasa Arab biasanya terdiri dari tiga huruf”. Pendekatan arti dan ortografi dari tata bahsa tradisional ini banyak menimbulkan masalah. Kata-kata seperti sikat, kucing, dan spidol memang bisa dipahami sebagai satu kata tetapi bentuk-bentuk seperti matahari, tiga puluh, dan  luar negara apakah sebuah kata, bisa diperdekatkan orang. Pendekatan ortografi untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin,bisa dengan mudah dipahami, meskipun menimbulkan persoalan. Tetapi pendekatan ortografi ini agak sungkar diterapkan untuk bahasa yang tidak menggunakan huruf Latin, sebab, misalnya, bagaimana kita harus menentukan spasi pada aksarah cina , jepang, ataupun aksarah Arab
Mereka membahas morfem ini dariberbagai segi dan pandangan. Tetapi tidak pernah mempersoalkan apakah kat itu. Batasan kata yang dibuat Bloomfield sendiri, yaitu kata adalah satuan bebas terkecil (a minimal free jorm) tidak pernah diulas atau dikomentari, seolah-olah batasan itu sudah bersifat final. Para linguis setelah bloofield juga tidak menaruh perhatian khusus terhadap konsep kata. Malah tata bahasa Generatif Tranformasi, yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Chomsky meskipun menyatakan kata adalah dasar analisis kalimat, hanya menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V (verba), N (nominal), A (ajektiva), dan sebagainya.
Batasan tersebut menyiratkan dua hal. Pertama,  bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak dapat diselipkan atau diselang oleh fonem lain. Jadi, misalnya, kata sikat,  urutan fonemnya adalah /S/, /I/, /K/, /A/,  dan /T/ . urutan itu tidak dapat diubahmisalnya menjadi /s/, /k/, /a/, /i/, dan /t/. Atau diselipkan fonem lain. Misalnya, menjadi /s/, /i/, /u/, /k/, /a/ dan /t/ Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat di isi atau digantikan oleh kata lain atau juga dapat di pisahkan dari kata lainnya.
Ciri pertama, kiranya, tidak menimbulkan masalah tetapi ciri kedua menimbulkan masalah. Misalnya, kalimat Nenek membaca komi itu kemaran. Kaliamat tu terdiri dari lima buah kata, yaitu Nenek, membaca, komik, itu, dan kemaren. Setiap kata mempunyai susunan dan urutan fonem yang tetap dan tidak dapat di ubah tempatnya. Sebaliknya, posisi setiap kata dapat di pindahkan, disela, atau dipisahkan. Misalnya, posisi kata kemarin dapat dipindahkan, umpamanya, menjadi kemarin nenek membaca komik itu  atau  Nenek kemaren membaca komik itu. Sampai di situ tidak ada masalah. Namun, teryata kita tidak dapat menebalkan kata kemarin  di antara kata  komik dan kata  itu, sebab konstruksi Nenek membaca komik kemarin itu  tidak dapt disela atau disisipkan kata lain. Malah, sebenarnya kata itu  tadak dapat dipindah kemana-mana  di dalam kalimat tersebut.
Berkenaan dengan otonomi kata untukdapat berpindahtempat dalam kalimat, ada pakar yang menyarankan (Van Wijk 1968) supaya diadakan derajak ke otonomian secara mortofolgis. Misalnya, kata itu pada komik itu, atau kau pada kauambil, dan di pada dikamar memang tidak dapat di pisahkan atau di balikkan susunannya. Namun, bentuk-bentuk tersebut dapat dipisahkan dalam hubungan subordinatif atau koordinatif. Bentuk komik itu dapat dipisah dengan memberi keterangan subordinatif pada kata komik, misalnya, menjadi kau yang ambilkomik itu atau nenekmu? Begitu juga dengan bentuk di kamar dapat di pisah, misalnya, menjadi baik di maupun dari kamar tidak ada bedanya. Jadi, kata-kata di, ke, dan yang sekelas denganya tetap punya otonomi untuk berpindah tempat.

2.      Klasifikasi Kata
   Istilah lain yang biasa di pakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau penjenisan kata dalam peristilahan bahasa inggris di sebut juga part of speech. Klasifikasi kata ini dalam sejarah lingguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan. Sejak zaman aristoteles hingga kini,termasuk juga dalam kajian lingguistik indonesia, persoalannya tidak pernah bisa tertuntaskan. Hal ini terjadi, karna, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing-masing dan kedua, karna keriteria yang digunakan untuk membuat krasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.
Para tata bahasawan tradisional keriteria makna dan kreteria fungsi. Kereteria makna digunakan untuk megindetifikasikan kelas verbal, nomina, dan ajektifa sedangkan keriteria fungsi digunakan untuk mengindentifikasikan preposisi, konjunsi, atverbia, pronmina, dan lain - lainya.
Ada juga kelompok linguis yang menggunakan kreteria fungsi sintaksis sebagai patokan untuk menentukan kelas kata secara umum, fungsi subjek di isi oleh kelas nomina dan fugsi predikat diisi oleh verba atau akjektifa fungsi objek oleh kelas nomina danfungsi keterangan oleh atferbia. Oleh karna itu semua kata yang menduduki fungsi subjek atau bjek di masukkan kedalam golingan nomina yang menduduki fungsi predikat di masukkan ke dalam golonga verba atau akjetifa dan yang menduduki fungsi keterangan di masukkan kedalam golongan atferbia. Patokan atau kriteria ini pun menimbulkan masalah, sebab dalam kalimat seperti berenang itu menyehatkan sudah muncul berbagai tafsiran mengenai kelas kata berenang. Ada yang mengatakan kata berenang dalam kalimat itu berkelas nomina sebab menduduki fungsi subjek ada yang mengatakan kata berenang dalam kalimat itu tetapberkelas verba ada yang engatakantermasuk kelas verba yang di nominal kan dan ada juga mengatakan nomina hipostatis.
Dari uraian diatas tanpak bahwa usaha untuk membuat klasifikasi kata (terutama untuk bahasa indonesia) bukan sesuatu yang mudah. Kreteria manapun yang digunakan, seperti yang dilakukan selama ini, selalu menimbulkan masalah yang suka ruwet dan sukar di selesaikan. Oleh karna it,mungkin ada yang bertanya, adakah manfaat bagi kita membuat klasifikasi kata itu? Kalau ada, apagunanya dan kalau tidak ada, kiranya takperlulah kita bersusahpayah membuat klasifikasi itu.
Klasifikasi atau penggolongan kata itu memang perlu, sebab besar manfaatnya, baik secara teoritis dalam studi semantik, maupun secara praktis dalam berlatih keterampilan berbahasa. Dengan mengenal kelas sebuah kata, yang dapat kita indentifikasikan dari ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan penggunaan atau penditribusikan kata itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri atau beridentifikasi yang sama saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau suatu disrtibusidi dalam kalimat. Umpamanya, kata-kata seperti minum,mandi, dan menyanyi dapat menggantikan distribusi kata  makan dalam kalimat dia sedang makan. Tetapi kata-kata seperti rumah, lima, dan  laut tidak dapat menggantikan kata makan itu.



3.      Pembentukan Kata
   Untuk dapat di gunakan di dalam kalimat atau petuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar, terutama dalam bahasa fleksi dan aglututasi, harus di bentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatika, baik melalui proses afiksasi, prosesreduplikasi, maupun proses komposisi. Umpamanya untuk konstruksi kalimat nenek komik itu di kamar hanya bentuk kata berprefiks me- yang dapat di gunakan menjadi predikat dalam kalimat itu. Sebaliknya, untuk kalimat berkrontruksi komikitu nenek di kamar  hanya kata berprefiks di- yang dapat di gunakan. Begitu juga untuk kontruksi kalimat itu berlangsung di gedung kesenian  hanya nomina berkofiks per- I-an yang dapat di gunakan sedangkan untuk konstruksi kalimat jembatan itu menelan biaya 100juta rupiah, hanya nomina berkonfiks pen-I-an yang dapat di pakai.
Pembentukan kata ini mempunyai dua sifat, yaitu pertama membentukkata-kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat derifatif.

a.      Inflektif
Kata-kata dalam bahasa-bahasa berfleksi, seperti bahasa Arab,bahasa Latin, dan bahasa Sansekerta, untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus di sesuaikan dulu bentuknya dengan kategori - kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu. Alat yang di gunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks, atau juga berua modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi didalam bentuk dasar itu.

b.      Derivatif
                  Pembentukan kata secara infelektif, seperti di bicarakan di atas, tidak membentuk kata baru, atau kata lain yang berbeda identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Hal ini berbeda dengan pembentukan kata secara derivatif atau derivasional.pembentukan kata secara derivatif membentukkat abaru, kata yang indentitas leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya.

C.    Proses Morfomis
1.      Afiksasi
                  Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar  atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, dan (3) makna gramatikal yang dihasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula bersifat derifatif. Afik adalah sebuah bentuk, biasanya bersifat morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar pembentukan kata. Sesuai dengan sifat kata yang dibentuknya, dibedakan adanya dua jenis afiks, yaitu afiks infletif dan afiks derivatif. Yang dimaksud afiks inflektif adalah afiks yang digunakan dalam pembentukan kata-kata inflektif atau fladigma infleksional.
2.      Reduplikasi
                  Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya reduplikasi penuh seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik) disamping itu dalam bahasa Indonesia. Sultan Alisjahbana masih mencatat adanya reduplikasi semu, seperti mondar mandir, yaitu jenis bentuk kata yang tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.
Proses reduplikasi banyak terdapat dalam berbagai bahasa diseluruh dunia. Sebagai contoh, diberikan: dalam bahasa dikepulauan marshall (daerah pasifik) ada kata takin ‘kaus kaki’ direduplikasikan menjadi takinkin ‘memakai kaus kaki’. Proses reduplikasi dapat bersifat paradikmatis (infleksional) dan dapat pula bersifat derivasional. Reduplikasi yang parakdimatis tidak mengubah identitas leksialnya, melainkan hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, meja-meja berarti ‘banyak meja’ dan kecil - kecil berarti ‘banyak yang kecil’.
3.      Komposisi
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar  dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun terikat, sehingga termasuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda, atau yang baru. Komposisi terdapat banyak bahasa. Misalnya, lalu lintas, daya juang, rumah sakit dalam bahasa Indonesia; akhirulkalam, maikalmaut, dan hajaruwaswad.
Dalam bahasa Indonesia proses komposisi ini sangat produktif. Hal ini dapat dipahami, karena dalam perkembangannya bahasa Indonesia banyak sekali memerlukan kosa kata untuk menampung konsep-konsep yang belum ada kosa katanya atau istilahnya dalam bahasa Indonesia. Umpamanya, untuk konsep ”sapi kecil” atau “sapi yang belum dewasa” disebut anak sapi.
4.      Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi
                  Konversi sering juga disebut dirivasi zero,transmutasi,dan transpasisi,adalah proses pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lain tanpa perubahan unsur segmental, umpamanya kata cangkul nomina ayah membeli cangkul barutetapi dalam kalimat cangkul dulu baik-baik tanah itu baru ditanami adalah sebuah verba.
Modifikasi internal (sering juga penambahan internal atau perubahan internal) adalah proses pembentukan kata dengan perubahan unsur-unsur (yang biasanya berupa vokal) ke dalam morfem yang berkerangka tetap (yang biasanya berupa konsonan).
                  Contoh berikut diambil dari bahasa arab dengan morfem dasar berkerangka k-+-b “tulis”.Perhatikan kerangka k-+-b tersebut serta vokal-vokal yang mengsinya.
                  Ada sejenis modifikasi internal lain yang disebut suplesi.Dalam proses suplesi perubahannya sangat ekstrem karena ciri-ciri benteuk dasar tidak atau hampir tidak tampak lagi.Boleh dikatakan bentuk dasar itu berubah total.
5.      Pemendekan
            Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya. Misalnya, lab (utuhnya laboratorium), hlm (utuhnya halaman), l (utuhnya liter), dan SD (utuhnya Sekolah Dasar).

6.      Produktivitas Proses Morfemis
Produktivitas dalam proses morfemis ini adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu,terutama afiksasi, reduplikasi, dan komposisi digunakan berulang-ulang  yang secara relatif tidak terbatas, artinya ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan proses tersebut.
D.    Morfofonemik
Morfofonemik disebut juga, morfofonemik, morfofonologi  atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, redupflikasi maupun komposisi.
            Umpamanya dalam proses afiksasi bahasa indonesia dengan prefiks me- itu akan berubah menjadi mem-, men-,meny-, meng-, menge-, atau tetap me-, menurut aturan-aturan fonologis tertentu.
            Perubahan fonem dalam proses merfofonemik ini dapat berwujud: (1) pemunculan fonem, (2)pelepasan fonem, (3) peluluhan fonem, (4) perubahan fonem, dan (5) pergeseran fonem.
  • Pemunculan fonem dapat kita lihat dari proses pengimbuhan prefiks me- dengan bentuk dasar baca yang menjadi membaca; di mana terlihat muncul konsonan sengau /m/ yang semulanya tidak ada.
  • Pelepsan fonem dapat ktia lihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada kata sejarah dimana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang; sejarah + wan menjadi sejarawan
  • Proses peluluhan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan dengan prefiks me- pada kata sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ny/ dari prefiks tersebut. Perhatikan! me- + sikat menjadi menyikat
  • Proses perubahan fonem dapat kita lihat pada proses pengimbuhan prefiks ber- pada kata ajar di mana fonem /r/ dari prefiks itu berubah menjadi fonem /l/.Perhatikan! ber- + ajar menjadi belajar
  • Proses pergeseran fonem adalah pindahnya sebuah fonem dari silabel yang satu ke silabel yang lain, biasanya ke silabel berikutnya.Peristiwa itu dalam bahasa indonesia adalah proses pengimbuhan sufiks /an/ pada kata jawab di mana fonem /b/ yang semula berada pada silabel /wab/ pindah ke silabel /ban/.Perhatikan! Ja.wab + -an menjadi jawaban.











DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer.  Linguistik Umum. Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah OSIS singkat

Sejarah OSIS singkat Bisa ditonton di link ini yaa  https://youtu.be/P5eLe4nN2B0

Makalah Kalimat