MORFOLOGI
(ILMU
TENTANG KATA)
Disusun oleh
:
Desi Widy Astutik
Diana Putri
Arifiani
Fatimatuz Zahroh
Iiklimah
Masdatul Jannnah
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PGRI BANGKALAN
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
MAKALAH LINGUISTIK UMUM MORFOLOGI
A.
Morfem
1.
Identifikasi Morfem
Untuk menentukan
sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk
tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk – bentuk lain. Kalau bentuk
tersebut ternyata bisa hadir secara berulang – ulang dengan kata lain, makna
bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Sebagai contoh kita ambil bentuk [kedua], dalam ujaran tersebut. Ternyata bentuk [kedua] dapat kita
banding – bandingkan dengan bentuk – bentuk sebagai berikut
(1) kedua
ketiga
kelima
ketujuh
kedelapan
kesembilan
kesebelas
Ternyata juga semua ke
pada daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang
mempunyai makna yang sama, yaitu menyatakan tingkat atau derajat. Dengan
demikian bentuk ke pada daftar dia
atas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang – ulang dan mempunyai
makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Perhatikan bentuk ke pada daftar berikut (Di sini aturan
ejaan tidak diindahkan).
(2) kepasar
kekampus
kedapur
kemesjid
kealun-alun
keterminal
Ternyata juga bentuk ke pada
daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga
mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian ke pada daftar tersebut juga adalah
sebuah morfem.
Namun apakah ke pada deretan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya
dengan ke pada deretan kepasar, kekampus, dan seterusnya itu
merupakan morfem yang sama, atau tidak sama. Karena makna bentuk ke pada kedua dan kepasar tidak
sama, maka kedua ke itu bukanlah
morfem yang sama. Keduanya merupakan dua buah morfem yang berbeda, meskipun
bentuknya sama. Jadi, kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah
morfem.
Sekarang perhatikan bentuk meninggalkan
yang juga terdapat pada arus ujaran di atas; lalu, bandingkan dengan bentuk
– bentuk lain yang ada dalam daftar berikut.
(3) meninggalkan
ditinggal
tertinggal
peninggalan
ketinggalan
sepeninggal
Dari daftar tersebut ternyata ada bentuk yang sama, yang
dapat disegmentasikan dari bagian unsure – unsure lainnya. Bagian yang sama itu
adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n- akan dibicarakan pada bagian lain). Maka, di sini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena
bentuknya sama dan maknanya juga sama.
Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan,
harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh berikut.
(4) menelantarkan
terlantar
lantaran
Dari contoh di atas meskipun bentuk lantar terdapat berulang – ulang pada daftar tersebut, tetapi
bentuk lantar itu bukanlah sebuah
morfem karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata pula kalau bentuk menelantarkan memang punya hubungan
dengan terlantar, tetapi tidak punya
hubungan dengan lantaran.
Dalam morfologi suatu satuan bentuk yang berstatus
sebagai morfem biasanya dilambangkan dengan mengapitnya di antara kurung
kurawal. Misalnya, kata Indonesia mesjid
dilambangkan sebagai {mesjid}; kata kedua
dilambangkan menjadi {ke} + {dua}, atau bia juga ({ke} + {dua}). Selama morfem
itu berupa morfem segmental hal itu mudah dilakukan.
2.
Morfem dan Alomorf
Telah disebutkan bahwa morfem adalah bentuk yang
sama, yang terdapat berulang – ulang dalam satuan bentuk yang lain. Perhatikan
deretan bentuk berikut.
(5)
melihat
merasa
membawa
membantu
mendengar
menduda
menyanyi
menyikat
menggali
menggoda
mengelas
mengetik
Lihat ada bentuk – bentuk yang mirip atau hampir sama, tetapi kita juga
tahu bahwa maknanya juga sama. Bentuk – bentuk itu adalah me- pada melihat dan merasa, mem- pada membawa dan memantu, men- pada
mendengar dan menduda, meny- pada menyanyi dan menyikat, meng pada menggali
dan menggoda, dan menge pada mengelas dan mengetik. Lalu, apakah me-,
mem-, men-, meny-, meng-, dan menge- itu
sebuah morfem atau bukan, sebab meskipun maknanya sama tetapi bentuknya tidak
persis sama, tetapi perbedaannya dapat dijelaskan secara fonologis. Bentuk me- berdistribusi, antara lain, pada
bentuk dasar yang fonem awalnya konkosonan /l/ dan /r/; bentuk mem- berdistribusi pada bentuk dasar
yang fonem awalnya /b/ dan juga /p/; bentuk men-
berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya /d/ dan juga /t/; bentuk
meny- berdistribusi pada bentuk dasar
yang fonem awalnya /s/; bentuk meng- berdistribusi
pada bentuk dasar yang fonem awalnya, antara lain konsonan /g/ dan /k/; bentuk menge- berdistribusi pada bentuk dasar
ekasuku.
Bentuk – bentuk realisasi
yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan perkataan lain, alomorf adalah perwujudan konkret
(di dalam pertuturan) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai
alomorf, entah satu, dua atau juga enam buah seperti yang tampak pada data di
atas. Selain itu bisa juga dikatakan morf
dan alomorf adalah dua buah nama
untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah
nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya; sedangkan alomorf adalah nama bentuk tersebut
kalau sudah diketahui status morfemnya.
Sebuhungan dengan alomorf me-, mem-, men-, meny-, meng-, menge-, di
atas muncul masalah: apa nama morfem untuk alomorf – alomorf itu? Dalam tata
bahasa tradisional nama yang digunakan adalah awalan me-, dengan penjelasan, awalan me-
ini akan mendapat sengau sesuai dengan lingkungannya. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indoneia dipilih
alomorf meng- sebagai nama morfem
itu, dengan alasan alomorf meng- paling
banyak distribusinya. Namun, dalam studi linguistic lebih umum disebut morfem meN- (dibaca; me- nasal; N besar melambangkan Nasal)
3.
Kalsifikasi Morfem
Klasifikasi
morfem dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria. Antara lain berdasarkan
kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagiannya.
Morfem
Bebas dan Morfem Terikat
Morfem
bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam
pertuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya : pulang, makan, rumah dan
bagus adalah termasuk morfem bebas
Morfem
terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat
muncul dalam peraturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem
terikat. Begitu juga dengan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.
Berdasarkan
dengan morfem terikat ini dalam bahasa indonesia ada beberapa hal yang perlu
dikemukakan, yaitu:
- Bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem terikat, karena bentuk- bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial (lihat Verhaar 1978).
- Sehubungan istilah prakategorial tersebut, menurut konsep Verhaar (1978) bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan sesudah mengalami proses morfologi.
- Bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena hanya bisa muncul dalam pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut juga morfem unik.
- Bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dari, pada, dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
- Klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya, apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk-bentuk singkat, biasanya hanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan enklitika. Yang dimaksud dengan proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kuambil.
Sedangkan
enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti
lah, -nya, dan -ku pada konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku.
Morfem
Utuh dan Morfem Terbagi
Semua
morfem dasar bebas yang di jelaskan diatas adalah termasuk morfem utuh seperti
: meja, kursi, kecil, laut, dan pensil. Begitu juga dengan morfem
terikat seperti ter, ber, henti, dan juang .
Morfem
terbagi adalah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Seperti
pada kata Indonesia kesatuan terdapat satumorfem utuh yaitu (satu) dan
satu morfem terbagi yakni { ke-/-an}; kata perbuatan terdiri dari satu
kata utuh, yaitu {buat} dan satu morfem terbagi, yaitu {per-/-an}.
Sehubungan dengan morfem
terbagi ini, untuk bahasa Indonesia, ada catatan yang perlu diperhatikan,
yaitu:
a.
Semua afiks yang disebut
konfiks seperti {ke-/-an}, { ber-/-an } (per-/-an}, dan { pe-/-an } adalah
termasuk morfem terbagi. hlamun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks, dan
bermusuhan saling memusuhi; tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada
beraturan dan berpakaian.
b. Dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yakni afiks yang
disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er} pada kata gerigi,
infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pa a kata gemetar.
Morfem
Segmental dan Suprasegmental
Morfem
segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segental seperti; mofem
{lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi semua morfem yang
berwujud bunyi adalah moerfem segmental.
Morfem
suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental
seperti; tekanan, nada, durasi dan sebagainya.
Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna
Leksikal
Perbedaan
lain yang biasa dilakukan orang adalah dikatomi adanya morfem bermakna leksikal
dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna
leksikal adalah morfem morfem yanf secara interen telah memiliki makna pada
dirinya sendiri. Tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya ,
dalam bahasa Indonesia, morfem morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan (merah) adalah morfem bermakna
leksikal. Oleh karena itu, morfem morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah
dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam
penuturan.
Sebaliknya
, morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa apa pada dirinya
sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna
dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Yang biasa
dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal ini adalah morfem morfem afiks,
seperti {ber}, {me}, dan {ter}.
Dalam
dikotomi morfem bermakna leksikal dan tak bermakna leksikalini, untuk bahasa
Indonesia timbul masalah. Morfem morfem seperti {juang}, {henti}, dan {gaul},
yang oleh verhaar disebut bentuk prakate gorial, mempunyai makna atau tidak?
Kalau dikatakan mempunyai makna, jelas morfem morfem tersebut tidak dapat
berdiri sendiri sebagai bentuk yang otonom didalam pertuturan. Kalau dikatakan
tidak bermakna , jelas morfem morfem itu bukan afiks. Dalam hal ini barangkali
perlu dipisahkan antara konsep Dan tataran semantic dengan konsep dan tataran
gramatikal. Secara semantik, morfem morfem itu mempunyai makna; tetapi secara
gramatikal morfem morfem tersebut tidak mempunyai kebebasan dan otonomi seperti
morfem {kuning}, {lari}, {sikat}.
Ada
satu bentuk morfem lagi yang perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai
makna leksikal atau tidak, yaitu morfem morfem yang didalam gramatika
berkategori sebagai preposisi dan konjungsi. Morfem morfem yang termasuk
preposisi dan konjungsi jelas bukan afiks dan jelas memiliki makna. Namun,
kebebasannya dalam pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat kebebasan
morfem afiks. Kedua jenis morfem ini pun tidak pernah terlibat dalam proses
morfologi, padahal afiks jelas terlibat dalam proses morfologi, meskipun hanya
sebagai pembentuk kata.
4.
Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal, dan Akar
Morfem dasar,
bentuk dasar (lebih umum dasar (base) saja), pangkal (stem), dan akar (root)
adalah empat istilah yang biasa digunakan dalam kajian morfologi. Namun ,
seringkali digunakan dengan pengertian yang kurang cermat, atau malah berbeda.
Oleh karena itu, sejalan dengan usaha yang dilakukan Lycns (1977:513) dan
Matthews (1972:165 dan 1974:40,73) ada baiknya kita bicarakan dulu sebelum
pembahasan mengenai proses proses morfologi.
Istilah morfem
dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi bentuk
bentuk seperti {juang}, {kucing}, dan
{sikat} adalah morfem dasar. Morfem
dasar ini ada yang termasuk morfem
terikat, seperti {juang}, {henti},
dan {abai} ; tetapi ada juga yang
termasuk morfem bebas, seperti {beli},
{lari}, dan {kucing}, sedangkan
morfem afiks, seperti {ber-}, {ter-},
dan {-kan} jelas semuanya termasuk
morfem terikat.
Sebuah morfem
dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses
morfologi. Artinya bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa
diulang dalam suatu proses komposisi.
Istilah bentuk
dasar atau dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk
yang menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa
morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem. Umpamanya pada kata
berbicara yang terdiri dari morfem ber- dan bicara, maka bicara adalah menjadi
bentuk dasar dari kata berbicara itu, yang kebetulan juga berupa morfem dasar.
Pada kata dimengerti bentuk dasarnya
adalah mengerti; dan pada kata keanekaragaman bentuk dasarnya adalah aneka
ragam. Dalam bahasa inggris kata books bentuk dasarnya adalah book; dan kata singers
bentuk dasarnya adalah singer; sedangkan kata singer itu sendiri bentuk
dasarnya adalah sing.
Istilah pangkal
(stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau proses
pembubuhan afiks inflektif (Tentang
inflektif dan derivasi). Contoh bentuk inflektif kita ambil dari bahasa
inggris. Pada kata books diatas,
pangkalnya adalah book. Contoh lain pada kata untouchables pangkalnya adalah
untouchable. Dalam bahasa Indonesia kata menangisi bentuk pangkalnya adalah
tangisi; dan morfem me- adalah sebuah afiks inflektif.
Akar (root)
digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi.
Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya , baik
afiks infleksional maupun afiks derivasionalnya ditanggalkan. Misalnya, kata
inggris untouchables akarnya adalah touch. Proses pembentukan kata untouchables
itu adalah; mula mula pada akar touch dilekatkan sufiks able menjadi touchable;
lalu, diletakkan prefix un- menjadi untouchable; dan akhirnya, diimbuhkan
sufiks –s sehingga menjadi untouchables.
B.
Kata
1.
Hakikat Kata
Istilah
kata sering kita dengar dan sering kita gunakan. Malah barang kali kata kata ini hampir setiap hari dan setiap
saat selalu kita gunakan dalam segala kesempatan dan untuk segala keperluan.
Tetapi kalau di tanya apakah kata itu? Maka jawabanya barang kali
tidak semudah menggunakannya. Para linguis yang sehari-hari bergelut dengan kata
ini, hingga dewasa ini, kiranya tidak pernah mempunyai kesamaan pendapat
mengenai konsep apa yang disebut kata itu
Para
tatat bahasawan tradisional biasanya memberi pegertian terhadap kata
berdasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang
memiliki satu pengertian atau kata adalah deretan huruf yang di apit oleh dua
spasi,dan mempunyai satu arti. Dalam kajian biasanya terdiri dari tiga
huruf “ kata-kata dalam bahasa Arab
biasanya terdiri dari tiga huruf”. Pendekatan arti dan ortografi dari tata
bahsa tradisional ini banyak menimbulkan masalah. Kata-kata seperti sikat, kucing,
dan spidol memang
bisa dipahami sebagai satu kata tetapi bentuk-bentuk seperti matahari, tiga puluh, dan luar
negara apakah sebuah kata, bisa diperdekatkan orang. Pendekatan ortografi
untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin,bisa dengan mudah dipahami,
meskipun menimbulkan persoalan. Tetapi pendekatan ortografi ini agak sungkar
diterapkan untuk bahasa yang tidak menggunakan huruf Latin, sebab, misalnya,
bagaimana kita harus menentukan spasi pada aksarah cina , jepang, ataupun
aksarah Arab
Mereka
membahas morfem ini dariberbagai segi dan pandangan. Tetapi tidak pernah
mempersoalkan apakah kat itu. Batasan kata yang dibuat Bloomfield sendiri,
yaitu kata adalah satuan bebas terkecil (a
minimal free jorm) tidak pernah diulas atau dikomentari, seolah-olah
batasan itu sudah bersifat final. Para linguis setelah bloofield juga tidak
menaruh perhatian khusus terhadap konsep kata. Malah tata bahasa Generatif Tranformasi,
yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Chomsky meskipun menyatakan kata adalah
dasar analisis kalimat, hanya menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V
(verba), N (nominal), A (ajektiva), dan sebagainya.
Batasan
tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang
urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak dapat diselipkan atau
diselang oleh fonem lain. Jadi, misalnya, kata sikat, urutan fonemnya
adalah /S/, /I/, /K/, /A/, dan /T/
. urutan itu tidak dapat diubahmisalnya menjadi /s/, /k/, /a/, /i/, dan /t/.
Atau diselipkan fonem lain. Misalnya, menjadi /s/, /i/, /u/, /k/, /a/ dan /t/
Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat,
atau tempatnya dapat di isi atau digantikan oleh kata lain atau juga dapat di
pisahkan dari kata lainnya.
Ciri
pertama, kiranya, tidak menimbulkan masalah tetapi ciri kedua menimbulkan
masalah. Misalnya, kalimat Nenek membaca
komi itu kemaran. Kaliamat tu terdiri dari lima buah kata, yaitu Nenek, membaca, komik, itu, dan kemaren. Setiap kata mempunyai susunan
dan urutan fonem yang tetap dan tidak dapat di ubah tempatnya. Sebaliknya,
posisi setiap kata dapat di pindahkan, disela, atau dipisahkan. Misalnya,
posisi kata kemarin dapat
dipindahkan, umpamanya, menjadi kemarin
nenek membaca komik itu atau Nenek
kemaren membaca komik itu. Sampai di situ tidak ada masalah. Namun, teryata
kita tidak dapat menebalkan kata kemarin di antara kata komik dan kata itu, sebab
konstruksi Nenek membaca komik kemarin itu
tidak dapt disela atau disisipkan
kata lain. Malah, sebenarnya kata itu tadak dapat dipindah kemana-mana di dalam kalimat tersebut.
Berkenaan
dengan otonomi kata untukdapat berpindahtempat dalam kalimat, ada pakar yang
menyarankan (Van Wijk 1968) supaya diadakan derajak ke otonomian secara
mortofolgis. Misalnya, kata itu pada komik itu, atau kau pada kauambil, dan di pada dikamar memang tidak dapat di pisahkan atau di balikkan susunannya.
Namun, bentuk-bentuk tersebut dapat dipisahkan dalam hubungan subordinatif atau
koordinatif. Bentuk komik itu dapat
dipisah dengan memberi keterangan subordinatif pada kata komik, misalnya, menjadi kau
yang ambilkomik itu atau nenekmu?
Begitu juga dengan
bentuk di kamar dapat di pisah,
misalnya, menjadi baik di maupun dari
kamar tidak ada bedanya. Jadi, kata-kata di, ke, dan yang sekelas denganya tetap punya otonomi untuk
berpindah tempat.
2.
Klasifikasi Kata
Istilah
lain yang biasa di pakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau
penjenisan kata dalam peristilahan bahasa inggris di sebut juga part of speech. Klasifikasi kata ini
dalam sejarah lingguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah
terlewatkan. Sejak zaman aristoteles hingga kini,termasuk juga dalam kajian
lingguistik indonesia, persoalannya tidak pernah bisa tertuntaskan. Hal ini
terjadi, karna, pertama setiap bahasa
mempunyai cirinya masing-masing dan kedua,
karna keriteria yang digunakan untuk membuat krasifikasi kata itu bisa
bermacam-macam.
Para
tata bahasawan tradisional keriteria makna dan kreteria fungsi. Kereteria makna
digunakan untuk megindetifikasikan kelas verbal, nomina, dan ajektifa sedangkan
keriteria fungsi digunakan untuk mengindentifikasikan preposisi, konjunsi,
atverbia, pronmina, dan lain
- lainya.
Ada
juga kelompok linguis yang menggunakan kreteria fungsi sintaksis sebagai
patokan untuk menentukan kelas kata secara umum, fungsi subjek di isi oleh
kelas nomina dan fugsi predikat diisi oleh verba atau akjektifa fungsi objek
oleh kelas nomina danfungsi keterangan oleh atferbia. Oleh karna itu semua kata
yang menduduki fungsi subjek atau bjek di masukkan kedalam golingan nomina yang
menduduki fungsi predikat di masukkan ke dalam golonga verba atau akjetifa dan
yang menduduki fungsi keterangan di masukkan kedalam golongan atferbia. Patokan
atau kriteria ini pun menimbulkan masalah, sebab dalam kalimat seperti berenang itu menyehatkan sudah muncul
berbagai tafsiran mengenai kelas kata berenang.
Ada yang mengatakan kata berenang dalam
kalimat itu berkelas nomina sebab menduduki fungsi subjek ada yang mengatakan
kata berenang dalam kalimat itu
tetapberkelas verba ada yang engatakantermasuk kelas verba yang di nominal kan
dan ada juga mengatakan nomina hipostatis.
Dari
uraian diatas tanpak bahwa usaha untuk membuat klasifikasi kata (terutama untuk
bahasa indonesia) bukan sesuatu yang mudah. Kreteria manapun yang digunakan,
seperti yang dilakukan selama ini, selalu menimbulkan masalah yang suka ruwet
dan sukar di selesaikan. Oleh karna it,mungkin ada yang bertanya, adakah
manfaat bagi kita membuat klasifikasi kata itu? Kalau ada, apagunanya dan kalau tidak
ada, kiranya takperlulah kita bersusahpayah membuat klasifikasi itu.
Klasifikasi
atau penggolongan kata itu memang perlu, sebab besar manfaatnya, baik secara
teoritis dalam studi semantik, maupun secara praktis dalam berlatih
keterampilan berbahasa. Dengan mengenal kelas sebuah kata, yang dapat kita
indentifikasikan dari ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan penggunaan atau
penditribusikan kata itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri
atau beridentifikasi yang sama saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau
suatu disrtibusidi dalam kalimat. Umpamanya, kata-kata seperti minum,mandi, dan menyanyi dapat menggantikan distribusi kata makan dalam kalimat dia sedang makan. Tetapi kata-kata seperti rumah, lima, dan laut tidak dapat
menggantikan kata makan itu.
3.
Pembentukan Kata
Untuk
dapat di gunakan di dalam kalimat atau petuturan tertentu, maka setiap bentuk
dasar, terutama dalam bahasa fleksi dan aglututasi, harus di bentuk lebih
dahulu menjadi sebuah kata gramatika, baik melalui proses afiksasi,
prosesreduplikasi, maupun proses komposisi. Umpamanya untuk konstruksi kalimat nenek komik itu di kamar hanya bentuk
kata berprefiks me- yang dapat di
gunakan menjadi predikat dalam kalimat itu. Sebaliknya, untuk kalimat
berkrontruksi komikitu nenek di kamar hanya kata berprefiks di- yang dapat di gunakan. Begitu juga untuk kontruksi kalimat itu
berlangsung di gedung kesenian hanya nomina berkofiks per- I-an yang dapat di gunakan
sedangkan untuk konstruksi kalimat jembatan
itu menelan biaya 100juta rupiah, hanya nomina berkonfiks pen-I-an yang dapat di pakai.
Pembentukan
kata ini mempunyai dua sifat, yaitu pertama membentukkata-kata yang bersifat
inflektif, dan kedua yang bersifat derifatif.
a.
Inflektif
Kata-kata dalam bahasa-bahasa
berfleksi, seperti bahasa Arab,bahasa Latin, dan bahasa Sansekerta, untuk dapat digunakan di
dalam kalimat harus di sesuaikan dulu bentuknya dengan kategori - kategori gramatikal yang
berlaku dalam bahasa itu. Alat yang di gunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya
berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks, atau juga berua
modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi didalam bentuk dasar itu.
b.
Derivatif
Pembentukan kata secara infelektif, seperti di
bicarakan di atas, tidak membentuk kata baru, atau kata lain yang berbeda
identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Hal ini berbeda dengan
pembentukan kata secara derivatif atau derivasional.pembentukan kata secara
derivatif membentukkat abaru, kata yang indentitas leksikalnya tidak sama
dengan kata dasarnya.
C.
Proses Morfomis
1.
Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah
dasar atau bentuk dasar. Dalam proses
ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, dan (3) makna
gramatikal yang dihasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula
bersifat derifatif. Afik adalah sebuah bentuk, biasanya bersifat morfem
terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar pembentukan kata. Sesuai dengan
sifat kata yang dibentuknya, dibedakan adanya dua jenis afiks, yaitu afiks
infletif dan afiks derivatif. Yang dimaksud afiks inflektif adalah afiks yang
digunakan dalam pembentukan kata-kata inflektif atau fladigma infleksional.
2.
Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang
bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan
perubahan bunyi. Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya reduplikasi penuh
seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari
dasar laki), dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari
dasar balik) disamping itu dalam bahasa Indonesia. Sultan Alisjahbana masih
mencatat adanya reduplikasi semu, seperti mondar mandir, yaitu jenis bentuk
kata yang tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk
dasarnya yang diulang.
Proses reduplikasi banyak
terdapat dalam berbagai bahasa diseluruh dunia. Sebagai contoh, diberikan:
dalam bahasa dikepulauan marshall (daerah pasifik) ada kata takin ‘kaus kaki’
direduplikasikan menjadi takinkin ‘memakai kaus kaki’. Proses reduplikasi dapat
bersifat paradikmatis (infleksional) dan dapat pula bersifat derivasional.
Reduplikasi yang parakdimatis tidak mengubah identitas leksialnya, melainkan
hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, meja-meja berarti ‘banyak meja’ dan
kecil - kecil berarti ‘banyak yang kecil’.
3.
Komposisi
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem
dasar dengan morfem dasar, baik yang
bebas maupun terikat, sehingga termasuk sebuah konstruksi yang memiliki
identitas leksikal yang berbeda, atau yang baru. Komposisi terdapat banyak
bahasa. Misalnya, lalu lintas, daya juang, rumah sakit dalam bahasa Indonesia;
akhirulkalam, maikalmaut, dan hajaruwaswad.
Dalam bahasa Indonesia proses komposisi ini sangat
produktif. Hal ini dapat dipahami, karena dalam perkembangannya bahasa
Indonesia banyak sekali memerlukan kosa kata untuk menampung konsep-konsep yang
belum ada kosa katanya atau istilahnya dalam bahasa Indonesia. Umpamanya, untuk
konsep ”sapi kecil” atau “sapi yang belum dewasa” disebut anak sapi.
4.
Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi
Konversi sering juga disebut dirivasi
zero,transmutasi,dan transpasisi,adalah proses pembentukan kata dari sebuah
kata menjadi kata lain tanpa perubahan unsur segmental, umpamanya kata cangkul
nomina ayah membeli cangkul barutetapi dalam kalimat cangkul dulu baik-baik
tanah itu baru ditanami adalah sebuah verba.
Modifikasi internal (sering
juga penambahan internal atau perubahan internal) adalah proses pembentukan
kata dengan perubahan unsur-unsur (yang biasanya berupa vokal) ke dalam morfem
yang berkerangka tetap (yang biasanya berupa konsonan).
Contoh
berikut diambil dari bahasa arab dengan morfem dasar berkerangka k-+-b “tulis”.Perhatikan kerangka k-+-b tersebut serta vokal-vokal yang
mengsinya.
Ada sejenis
modifikasi internal lain yang disebut suplesi.Dalam proses suplesi perubahannya
sangat ekstrem karena ciri-ciri benteuk dasar tidak atau hampir tidak tampak
lagi.Boleh dikatakan bentuk dasar itu berubah total.
5.
Pemendekan
Pemendekan adalah proses penanggalan
bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk
singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya. Misalnya, lab
(utuhnya laboratorium), hlm (utuhnya halaman), l (utuhnya liter), dan SD (utuhnya Sekolah Dasar).
6.
Produktivitas Proses Morfemis
Produktivitas dalam proses morfemis ini adalah dapat
tidaknya proses pembentukan kata itu,terutama afiksasi, reduplikasi, dan
komposisi digunakan berulang-ulang yang
secara relatif tidak terbatas, artinya ada kemungkinan menambah bentuk baru
dengan proses tersebut.
D.
Morfofonemik
Morfofonemik disebut juga, morfofonemik, morfofonologi atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya
wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, redupflikasi
maupun komposisi.
Umpamanya dalam proses
afiksasi bahasa indonesia dengan prefiks me- itu akan berubah menjadi mem-, men-,meny-, meng-, menge-, atau
tetap me-, menurut aturan-aturan
fonologis tertentu.
Perubahan fonem dalam
proses merfofonemik ini dapat berwujud: (1) pemunculan fonem, (2)pelepasan
fonem, (3) peluluhan fonem, (4) perubahan fonem, dan (5) pergeseran fonem.
- Pemunculan fonem dapat kita lihat dari proses pengimbuhan prefiks me- dengan bentuk dasar baca yang menjadi membaca; di mana terlihat muncul konsonan sengau /m/ yang semulanya tidak ada.
- Pelepsan fonem dapat ktia lihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada kata sejarah dimana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang; sejarah + wan menjadi sejarawan
- Proses peluluhan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan dengan prefiks me- pada kata sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ny/ dari prefiks tersebut. Perhatikan! me- + sikat menjadi menyikat
- Proses perubahan fonem dapat kita lihat pada proses pengimbuhan prefiks ber- pada kata ajar di mana fonem /r/ dari prefiks itu berubah menjadi fonem /l/.Perhatikan! ber- + ajar menjadi belajar
- Proses pergeseran fonem adalah pindahnya sebuah fonem dari silabel yang satu ke silabel yang lain, biasanya ke silabel berikutnya.Peristiwa itu dalam bahasa indonesia adalah proses pengimbuhan sufiks /an/ pada kata jawab di mana fonem /b/ yang semula berada pada silabel /wab/ pindah ke silabel /ban/.Perhatikan! Ja.wab + -an menjadi jawaban.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar