FONOLIGI DALAM LINGUISTIK UMUM
Secara etimologis
kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti bunyi dan logi
yang berarti ilmu. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim diartikan sebagai bagian
dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan
menganalisis bunyi bahasa yang di produksi oleh alat–alat ucap manusia.
Yang di kaji
fonologi ialah bunyi–bunyi bahasa sebagi satuan terkecil dari ujaran beserta
dengan gabungan antar bunyi yang membentuk silabel atau suku kata. Serta juga
dengan unsur-unsur suprasegmentalnya seperti tekanan, nada, hentian dan durasi.
Satu tingkat
diatas satuan silabel ialah satuan morfem yang menjadi objek kajian linguistik
morfologi. Bedanya silabel dengan morfem adalah kalau silabel tidak memiliki makna,
maka morfem mempunyai makna. Secara kuantitatif sebuah morfem, bisa sama atau
lebih besar dari pada sebuah silabel.
Morfologi
yang lazim di artikan sebagai kajian mengenai proses – proses pembentukan kata
dalam kajiannya juga masih memerlukan bantuan kajian fonologi. Misalnya dalam
kasus yang disebut morfofonemik akan dibicarakan adanya peruban bunyi,
penambahan bunyi, pergeseran bunyi, dan sebagainya sebagai akibat dari adanya
proses pertemuan morfem dengan morfem, terutama antara morfem afik dengan morfem
dasar atau morfem akar.
Dalam
beberapa bahasa tertentu unsur suprasegmental yang juga menjadi objek kajian
fonologi seperti nada, tekanan, dan durasi akan memberi makna pula tehadap
wujud sebuah morfem atau kata. Jadi kajian fonologi masih terlibat dalam kajian
morfologi.
Di atas
satuan morfem ada satuan ujar yang disebut kata, frase, klausa dan (kalau
ujarannya dalam bentuk wacana) kalimat, yang menjadi objek kajian linguistik
bidang sintaksis. Dalam kajian sintaksis ini fonologi juga masih terlihat karena
seringkali makna sebuah ujaran (kalimat) tergantung pada unsur-unsur
suprasegmentalnya. Misalnya ujaran “guru baru datang” akan bermakna ‘guru itu
terlambat’. Apabila diberi jeda antara kata guru dan kata baru; tetapi akan
bermakna ‘guru itu baru diangkat’. Apabila di beri jeda antara kata “baru” dan
kata “datang”.
Begitu juga,
sebuah ujaran (kalimat) yang sama akan berbeda modus dan maknanya apabila di
beri intonasi final yang berbeda. Kalau diberi intonasi deklaratif kalimat itu
menjadi sebuah kalimat deklaratif, kalau diberi intonasi introgatif kalimat itu
akan berubah menjadi kalimat introgatif; dan kalau intonasi interjektif akan
menjadi sebuah kalimat interjektif.
Fonetik adalah cabang kajian linguistik yang meneliti
bunyi-bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi itu dapat membedakan makna
kata atau tidak. Hal ini berbeda dengan fonemik yang meneliti bunyi-bunyi
bahasa dengan melihat bunyi itu sebagai satuan yang dapat membedakan makna
kata.
Kemudian, berdasarkan dimana beradanya bunyi bahasa itu
sewaktu dikaji, dibedakan adanya tiga macam fonetik, yaitu fonetik
artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Sewaktu bunyi itu berada
dalam proses produksi di dalam mulut penutur, dia menjadi objek kajian fonetik
artikulatoris atau fonetik organis. Sewaktu bunyi bahasa itu berada atau sedang
merambat di udara menuju telinga pendengar, dia menjadi objek kajian fonetik
akustik. Lalu, sewaktu bunyi bahasa itu sampai atau berada di telinga
pendengar, dia menjadi objek kajian fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau
fonetik fisiologis meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diproduksi oleh
alat-alat ucap manusia. Pembahasannya, antara lain meliputi masalah alat-alat
ucap yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa itu; mekanisme arus udara
yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa; bagaimana bunyi bahasa itu
dibuat; mengenai klasifikasi bunyi bahasa yang dihasilkan serta apa kriteria
yang digunakan; mengenai silabel; dan juga mengenaio unsur-unsur atau ciri-ciri
suprasegmental, seperti tekanan, jeda, durasi, dan nada.
Fonetik akustik yang objeknya adalah bunyi bahasa ketika
merambat di udara, antara lain membicrakan: gelombang bunyi beserta frekuensi
dan kecepatannya ketika merambat di udara, spectrum, tekanan, dan intensitas
bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi bunyi, serta
pengukuran akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah kepada kajian
fisika dari pada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki kepentingan di
dalamnya.
Fonetik audiotori meneliti bagaimana bunyi-buyni bahasa
itu “diterima” oleh telinga, sehingga bunyi-bunyi itu di dengar dan dapat di
pahami. Dalam hal ini tetunya pembahsan mengenai struktur dan fungsi alat
dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme penerimaan bunyi
bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kiranya kajian fonetik
audiotori lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk kajian neurologi.
Dari ketiga jenis fonetik itu jelas yang paling berkaitan
dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris, karena fonetik ini sangat
berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa itu diproduksi atau dihasilkan.
Sedangakan fonetik akustik lebih berkenaan dengan kajian fisika, yang dilakukan
setelah bunyi-bunyi itu dihasilkan dan sedang merambat di udara. Kajian
mengenai frekuensi dan kecepatan gelombang bunyi adalah kajian bidang fisika
bukan bidang linguistik. Begitupun kajian linguistik audiotoris lebih berkaitan
dengan ilmu kedokteran dari pada linguistik. Kajian mengenai struktur dan
telinga jelas mengenai struktur kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi
Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik
Umum. Jakarta : Rineka Cipta
A. SEJARAH
FONOLOGI
Sejarah fonologi dapat dilacak
melalui riwayat pemakaian istilah fonem dari waktu ke waktu. Pada sidang
Masyarakat Linguistik Paris, 24 mei 1873, Dufriche Desgenettes mengusulkan nama
fonem, sebagai padanan kata Bjm Sprachault. Ferdinand De Saussure dalam bukunya
“ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les Langues Indo-Europeennes”
‘memoir tentang sistem awal vokal bahasa – bahasa Indo eropa ‘ yang terbit pada
tahun 1878, mendefinisikan fonem sebagai prototip unik dan hipotetik yang
berasal dari bermacam bunyi dalam bahasa –bahasa anggotanya. Sejarah fonologi
dalam makalah ini akan lebih mengkhususkan membahas mengenai istilah fonem.
Gambaran mengenai perkembangan fonologi dari waktu ke waktu dapat dilihat lewat
berbagai aliran dalam fonologi.
a. Aliran Kazan
Dengan tokohnya Mikolaj Kreszewski,
aliran ini mendefinisikan fonem sebagai satuan fonetis tak terbagi yang tidak
sama dengan antropofonik yang merupakan kekhasan tiap individu. Tokoh utama
aliran kazan adalah Baudoin de Courtenay (1895). Menurut linguis ini, bunyi –
bunyi yang secara fonetis berlainan disebut alternan, yang berkerabat secara
histiris dan etimologis. Jadi, meskipun dilafalkan berbeda, bunyi – bunyi itu
berasal dari satu bentuk yang sama. Pada 1880, Courtenay melancarkan kritiknya
terhadap presisi atas beberapa fona yang dianggapnya tidak bermanfaat. Pada
1925, paul passy mempertegas kritik tersebut.
Ferdinand De Saussure.
Ferdinand De Saussure.
Dalam bukunya “Cours de Linguistique
Generale” ‘ Kuliah Linguistik umum’, Saussure mendefinisikan fonologi sebagai
studi tentang bunyi – bunyi bahasa manusia.dari definisi tersebut tercermin
bahwa bunyi bahasa yang dimaksud olehnya hanyalah unsure – unsure yang
terdengar berbeda oleh telinga dan yang mampu menghasilkan satuan – satuan
akustik yang tidak terbatas dalam rangkaian ujaran. Jadi dapat dikatakan bahwa
Saussure menggunaklan criteria yang semata – mata fonetis untuk menggambarkan
fonem dan memempatkannya hanya pada poros sintagmatik.
Lalu Saussure mengoreksinya dan
mengatakan bahwa pada sebuah kata yang penting bukanlah bunyi melainkan
perbedaan fonisnya yang mampu membedakan kata itu dengan yang lain.
Dengan konsep – konsepnya, meskipun
tidak pernah mencantumkan istilah struktur maupun fungsi, Saussure dianggap
telah membuka jalan terhadap studi fonologi yang kemudian diadaptasi oleh
aliran Praha.
b. Aliran Praha
Kelahiran fonologi ditandai dengan
“Proposition 22” ‘Usulan 22’ yang diajukan oleh R. Jakobson, S. Karczewski dan
N. Trubetzkoy pada konggres Internasional I para linguisdi La Haye, april 1928.
Pada 1932 jakobson mendefinisikan fonem sebagai sejumlah ciri fonis yang mampu
membedakan bunyi bahasa tertentu dari yang lain, sebagai cara untuk membedakan
makna kata. Jadi konsep fonem merupakan sejumlah ciri pembeda (ciri
distingtif).
c. Aliran Amerika
Tokoh aliran ini adalah Edward Sapir
(1925), seorang etnolog dan linguis yang terutama memeliti bahasa – bahasa
Indian Amerika. Menurutnya, sistem fonologi bersifat bersifat fungsional.
Kiprah Sapir diteruskan oleh penerusnya dari Yale, Leonard Bloomfield , yang
karyanya “Language” menjadikan dirinya bapak linguistik Amerika selama 25
tahun. Pada buku itu Bloomfield menjelaskan banyak hal tentang definisi –
definisi mutakhir tentang fonem, istilah ciri pembeda, zona penyebaran fonem,
kriteria dasar dalam menentukan oposisi fonologis dan lain – lain.
Sifat behaviouris dan antimentalis Bloomfield mengantarkannya pada konsepsi tentang komunikasi sebagai perilaku dimana sebuah stimulus (ujaran penutur) memunculkan reaksi mitra tutur. Menurutnya, yang penting dalam bahasa adalah fungsinya untuk menghubungkan stimulus penutur dengan reaksi mitra tutur. Agar fungsi itu terpenuhi, pada tataran bunyi cukuplah kiranya jika setiap fonem berbeda dengan yang lainnya. Sehingga zona penyebaran fonem dan sifat akustiknya bukanlah sesuatu yang penting. Pada tataran fonologi umum, pionir fonologi Amerika lainnya, W.F Twaddell pada 1935 menerbitkan monografi. Di dalamnya Twaddell menegaskan bahwa satuan – satuan fonologis bersifat relasional. Daniel Jones dan Aliran Fonetik Inggris Sejak 1907 Daniel Jones mengajar fonetik di University of London. Setelah itu ia kemudian lebih banyak menggelti praktek fonologi di Inggris. Kegiatannya di jurusan fonetik di University of college lebih difokuskan pada transkripsi fonetis dan pengajaran pelafalan bahasa – bahasa dunia. Perhatiannya pada dua hal itu membuat dirinya memiliki konsep tersendiri tentang fonem. Pada 1919, dalam “ Colloquial Sinhalese Reader” yang diterbitkannya bersama H.S Parera, Jones memberikan definisi fonem yang berciri distribusional.
Terinspirasi oleh Baudoin de Courtenay, yang memakai fonem sebagai realitas psikofonetis, Jones menggambarkan fonem sebagai realitas mental. Maksudnya, dalam studi tentang sifat alamiah fonem, kita juga dapat menggunakan baik intuisi, rasa bahasa maupun cara – cara lain yang bersifat psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa Jones lebih suka pada sifat fonem, alih – alih fungsinya. Dengan sudut pandang seperti itu sebenarnya Jones sudah memasuki daerah kerja fonologi, dalam analisisnya ia memasukkan data fonologi tertentu, namun dengan menyingkirkan sudutpandangfonologis.
Sifat behaviouris dan antimentalis Bloomfield mengantarkannya pada konsepsi tentang komunikasi sebagai perilaku dimana sebuah stimulus (ujaran penutur) memunculkan reaksi mitra tutur. Menurutnya, yang penting dalam bahasa adalah fungsinya untuk menghubungkan stimulus penutur dengan reaksi mitra tutur. Agar fungsi itu terpenuhi, pada tataran bunyi cukuplah kiranya jika setiap fonem berbeda dengan yang lainnya. Sehingga zona penyebaran fonem dan sifat akustiknya bukanlah sesuatu yang penting. Pada tataran fonologi umum, pionir fonologi Amerika lainnya, W.F Twaddell pada 1935 menerbitkan monografi. Di dalamnya Twaddell menegaskan bahwa satuan – satuan fonologis bersifat relasional. Daniel Jones dan Aliran Fonetik Inggris Sejak 1907 Daniel Jones mengajar fonetik di University of London. Setelah itu ia kemudian lebih banyak menggelti praktek fonologi di Inggris. Kegiatannya di jurusan fonetik di University of college lebih difokuskan pada transkripsi fonetis dan pengajaran pelafalan bahasa – bahasa dunia. Perhatiannya pada dua hal itu membuat dirinya memiliki konsep tersendiri tentang fonem. Pada 1919, dalam “ Colloquial Sinhalese Reader” yang diterbitkannya bersama H.S Parera, Jones memberikan definisi fonem yang berciri distribusional.
Terinspirasi oleh Baudoin de Courtenay, yang memakai fonem sebagai realitas psikofonetis, Jones menggambarkan fonem sebagai realitas mental. Maksudnya, dalam studi tentang sifat alamiah fonem, kita juga dapat menggunakan baik intuisi, rasa bahasa maupun cara – cara lain yang bersifat psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa Jones lebih suka pada sifat fonem, alih – alih fungsinya. Dengan sudut pandang seperti itu sebenarnya Jones sudah memasuki daerah kerja fonologi, dalam analisisnya ia memasukkan data fonologi tertentu, namun dengan menyingkirkan sudutpandangfonologis.
B. Perkembangan
Fonologi
Tahun 1960-an sampai 1970-an
menandai dimulainya kajian – kajian empiris tentang bahasa Indonesia maupun
bahasa – bahasa lain. Contoh karya – karya yang muncul antara lain :
a. Artikel tentang fonologi bahasa
jawa dan sistem fonem dan ejaan (1960) oleh samsuri. Ciri – ciri penelitian
pada saat itu adalah dipengaruhi oleh gerakan deskriptivisme, menganut aliran
neo Bloomfieldian dan bersifat behaviouristik, ketat dalam metodologi dan
bahasa lisan menjadi objek utama.
b. Lalu pada tahun 1970an masuk
konsep fonem dan wawasan tentang unsur suprasegmental oleh amran halim, dan
Hans Lapoliwa dengan fonologi generatifnya.
Namun, untuk mengetahui perkembangan mutakhir linguistic Indonesia saat ini diperlukan survey lagi yang lebih mendalam.
Namun, untuk mengetahui perkembangan mutakhir linguistic Indonesia saat ini diperlukan survey lagi yang lebih mendalam.
C. Pengertian
Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam
kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
fonologi adalah bagian tata bahasa
atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah
fonologi ini berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu phone yang
berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan, kata, atau ilmu
disebut juga tata bunyi. Akan tetapi, bunyi yang dipelajari dalam Fonologi
bukan bunyi sembarang bunyi, melainkan bunyi bahasa yang dapat membedakan arti
dalam bahasa lisan ataupun tulis yang digunakan oleh manusia. Bunyi yang
dipelajari dalam Fonologi kita sebut dengan istilah fonem.
Fonem tidak memiliki makna, tapi
peranannya dalam bahasa sangat penting karena fonem dapat membedakan makna.
Misalnya saja fonem [l] dengan [r]. Jika kedua fonem tersebut berdiri sendiri,
pastilah kita tidak akan menangkap makna. Akan tetapi lain halnya jika kedua
fonem tersebut kita gabungkan dengan fonem lainnya seperti [m], [a], dan [h],
maka fonem [l] dan [r] bisa membentuk makna /marah/ dan /malah/. Bagi orang
Jepang kata marah dan malah mungkin mereka anggap sama karena dalam bahasa
mereka tidak ada fonem [l]. Oleh karena itulah sangat penting bagi kita untuk
mempelajari Fonologi.
Sekarang coba Anda perhatikan bunyi
gebrakan tangan di atas meja. Apakah bunyi tersebut termasuk ke dalam kategori
fonem? jika Anda menjawab Iya, Anda harus membaca kembali kalimat sebelumnya.
Tapi, jika jawaban Anda Bukan..Selamat! Anda telah berhasil memahami tentang
fonem. Bunyi gebrakan tangan di atas meja mungkin bisa memiliki makna atau pun
membedakan makna, tapi apakah bunyi tersebut termasuk ke dalam bunyi
bahasa..silahkan Anda perhatikan dengan baik.
Fonem dalam bahasa Indonesia terdiri
atas empat macam. Ada fonem yang benar-benar asli dari bahasa Indonesia, namun
ada pula fonem yang berasal dari berbagai bahasa lain namun penggunaannya sudah
dibakukan. Dalam pembahasan berikut, saya tidak akan membedakan antara fonem
yang asli dengan fonem yang serapan.
Menurut Hierarki satuan bunyi yang
menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara
umum fonetik biasanya dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi
sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi
tersebut sebagai pembeda makna.
Marilh kita lihat percakapan ini :
Orang I : apakah tugasmu hari ini?
Orang II : membuat resensi buku
Orang I : resensi buku? buku siapa?
Orang II : ah, buku dalam bahasa arab
Orang I: dalam bahasa arab?
Orang II: ya,kita kan mahasiswa bahasa arab.
Dari percakapan
sependek ini kita hanya mendengar deretan bunyi baik yang dikeluarkan oleh
orang I maupun orang II. Bunyi-bunyi ini disebut, bunyi bahasa yang
kebetulan kita mengerti, karena kita adalah penutur bahasa Indonesia.
Seandainya ada orang jerman yang kebetulan mendengar percakapan ini, pasti dia
tidak mengerti bahasa Indonesia. Ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa
tertentu menurut fungsinya, untuk membedakan makna leksikal disebut
fonologi ( phonology). Di Amerika istilah fonologi disebut
fonemik (phonemics) sedangkan di eropa disamping fonemik terdapat pula
fonetik. Jadi, bagi sarjana di eropa, misalnya Belanda dan Inggris terdapat
fonetik dan fonologi, sedangkan di Amerika Serikat, baik fonetik maupun fonemik
dibicarakan dalam satu tataran yang disebut fonologi.
D. BIDANG
PEMBAHASAN FONOLOGI
Fonologi
mempunyai dua cabang kajian,
Pertama, fonetik yaitu
cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan
atau dilafalkan. Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara
menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh
alat ucap manusia. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ
tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer membagi
urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:
a) fonetik
artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
b) fonetik
akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena
alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan
intensitasnya.
c) fonetik
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu
oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut
yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris,
sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa
itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih
berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang
kedokteran.
Kedua, fonemik yaitu
kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Chaer
mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi
membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r],
[a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang
pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi[r]. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda
dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.
Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
istilah lain yang berkaitan dengan Fonologi antara
lain fona, fonem, konsonan, dan vokal.
fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti, sedang fonem ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf. Unluk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu :
1.
udara,
2.
artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak, dan
3.
titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi
titik sentuh artikulator.
Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan
udara keluar tanpa rintangan. Konsonan adalah fonem yang dihasilkan
dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan, dalam hal ini yang dimaksud
dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya
gerakan atau perubahan posisi artikulator .
E. KEDUDUKAN
FONOLOGI DALAM CABANG-CABANG LINGUISTIK
Sebagai bidang yang berkosentrasi
dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi, hasil kerja fonologi berguna bahkan
sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguitik yang lain, misalnya morfologi,
sintaksis, dan semantik.
1. Fonologi dalam cabang Morfologi
Bidang morfologi yang kosentrasinya
pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan hasil studi fonologi,
misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi
antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses
morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-kan}.
2. Fonologi dalam cabang
Sintaksis
Bidang sintaksis yang berkosentrasi
pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat kamu
berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri? (kalimat tanya),
dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut
masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi mempunyai maksud yang
berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis
fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang ternyata
dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
3. Fonologi dalam cabang Semantik
Bidang semantik, yang berkosentrasi
pada persoalan makna kata pun memanfaatkan hasil telaah fonologi. Misalnya
dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan, dan tidak. Contoh kata
[tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan didik ketika
diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan
makna. Hasil analisis fonologislah yang membantunya.
F. Hal-
hal terkait fonologi
a.
Fonem
Fonem adalah kesatuan bunyi yang
terkecil dan sistem bunyi-bunyi bahasa yang dapat berfungsi sebagai pembeda
makna. Dan fonem juga adalah merupakan objek kajian dalam ilmu fonemik.
b.
Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi
fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa biasanya sebuah kata,
yang mengandung bunyi, lalu membandingkannya dengan satuan kata yang lain yang
mirip dengan satuan bahasa yang pertama. kalau ternyata kedua satuan bahasa itu
mempunyai makna yang berbeda maka dapat kita simpulkan bahwasanya bunyi
tersebut adalah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua
satuan bahasa tersebut. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata “tajam”
dengan ”talam”. Keduanya memiliki kemiripan bunyi bahkan jumlah bunyinya
sama (lima bunyi). “Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi “J” dan “l”.
Maka dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa bunyi “j” dan “l”
dalam bahasa Indonesia adalah fonem, karena berfungsi dalam membedakan makna.
Dalam bahasa arab juga ditemukan adanya fonem, misalnya pada kata “ ذنوب“ dengan “ زنوب“ yang mempunyai arti yang berbeda yaitu “dosa-dosa” dan
“bulu ketiak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar